Menyelamatkan Pegunungan Meratus dengan Konsep Geopark

Iq100.eu.org. Menyelamatkan Pegunungan Meratus dengan Konsep Geopark.  Pegunungan Meratus merupakan tulang punggung Pulau Kalimantan tidak hanya karena posisinya yang seperti tulang punggung yang membagi pulau menjadi dua bagian tetapi juga karena pegunungan menyediakan sumber daya penting bagi kehidupan masyarakat.

Menyelamatkan Pegunungan Meratus dengan Konsep Geopark

Pegunungan Meratus tersusun atas kerak samudera yang disebut ofiolit terangkat ke permukaan sejak 150-200 juta tahun yang lalu.

Tabrakan antara dua benua mengangkat ke atas kerak samudra, dari enam ribu meter di bawah permukaan laut dan terpapar lebih dari seribu meter di atas permukaan laut untuk menciptakan Pegunungan Meratus.

Sejarah geologi yang kompleks menjadikan Pegunungan Meratus kaya akan keanekaragaman geologi mulai dari air terjun, sumber air panas, aneka bentang alam, karst, hingga mineral, seperti intan dan batu bara.

Proses geologis juga memengaruhi keanekaragaman hayati di kawasan itu.

Pegunungan tersebut terbentang seluas 600 kilometer persegi melintasi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, namun sebagian besar terletak di Kalimantan Selatan.

Titik tertinggi Pegunungan Meratus berada di Gunung Halau-Halau, Kalimantan Selatan, sekitar 1.901 meter di atas permukaan laut.

“Meratus merupakan gunung tertua di Indonesia, terluas, dan mungkin paling variatif (keanekaragaman hayati). Inilah alasan mengapa kita harus menyelamatkan Meratus,” kata ahli geologi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta Veteran Jatmika Setiawan.

Konsep geopark dipilih sebagai pendekatan yang paling tepat untuk menyelamatkan Meratus, mengingat bumi merupakan fokus utama yang harus diselamatkan.

“Dengan menyelamatkan bumi (di Meratus), berarti kita juga menyelamatkan flora dan fauna serta manusia yang hidup di dalamnya,” kata Setiawan.

Geopark merupakan salah satu program pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan tiga pilar tujuan pembangunan yaitu konservasi, pendidikan, dan pengembangan ekonomi kerakyatan berkelanjutan.

Indonesia saat ini memiliki 19 geopark, enam di antaranya berstatus internasional (UGGp) dan 13 geopark berstatus nasional.

Meratus telah dinyatakan sebagai Geopark Nasional pada tahun 2018. Saat ini sedang bersiap untuk mendapatkan status UNESCO Global Geopark (UGGp).

Berbagai persiapan telah dilakukan Pemprov Kalsel, antara lain melengkapi dokumen yang akan diserahkan ke UNESCO, membenahi infrastruktur di geosite, dan mengedukasi warga sekitar tentang geopark.

Nyatanya, pemerintah daerah menemui berbagai kendala dalam mewujudkan gagasan tersebut.

Beberapa pihak masih mempertanyakan kemampuan konsep geopark dalam menyelamatkan lingkungan di Pegunungan Meratus.

WALHI cabang Kalimantan Selatan, sebuah lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan, mempertanyakan kemampuan geopark untuk menyelamatkan Meratus.

“Ancaman terhadap Meratus begitu nyata, terutama dari sektor tambang emas dan batu bara. Mampukah geopark mengatasi itu,” tanya Direktur Eksekutif WALHI Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono.

Ia menegaskan, Pegunungan Meratus harusnya terlarang bagi industri ekstraktif yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam.

“Kalau tujuannya (geopark) untuk konservasi dan kesejahteraan masyarakat, mari kita bersinergi,” ujarnya.

Kisworo juga mempertanyakan keterlibatan masyarakat adat dalam penetapan status geopark.

“Masyarakat asli tidak dilibatkan dalam penentuan status geopark. Dalam hal konservasi, mereka juga memiliki tata ruang sendiri. Ada kawasan keramat yang tidak boleh diganggu,” ujarnya.


Kepedulian Bersama

Menanggapi keraguan WALHI, Wakil Ketua Badan Pengelola Geopark Meratus (BP Geopark Meratus) Nurul Fajar Desira mengatakan, penetapan Pegunungan Meratus sebagai geopark nasional akan menjadi peluang bagi Kalsel untuk menyelamatkan Meratus.

"Kami memiliki keprihatinan yang sama," kata Desira.

Ia mengungkapkan, eksploitasi Meratus sudah berlangsung lama. Kayu ulin dan kayu Meranti yang mudah ditemukan pada tahun 1970-an, telah habis dalam satu dekade dengan pertumbuhan industri kayu lapis.

"Sekarang giliran batu bara yang digali, dan izin pertambangan dikeluarkan. Kami kemudian menemukan emas. Kekayaan orang Meratus memang luar biasa, dan ini (eksploitasi) akan terus berlanjut jika kita tidak berbuat apa-apa," tegasnya.

Dikatakannya, program geopark merupakan kesempatan untuk membuka mata semua orang, termasuk para pengusaha, bahwa industri dapat berjalan paralel dengan pelestarian lingkungan.

"Ini harus kita mulai. Kita hargai sikap WALHI, karena memang begitulah cara kerja pecinta lingkungan. Namun, kita harus bergerak sesuai aturan dan tidak bisa seenaknya mencabut izin (pertambangan) tersebut," kata Desira.

Dikatakannya, geopark ini merupakan pengembangan bertahap untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap kelestarian bumi, sehingga masyarakat dapat melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Dengan penetapannya sebagai geopark nasional, Meratus akan menarik perhatian masyarakat secara nasional, dan dapat diajak untuk ikut serta dalam pelestarian Pegunungan Meratus.

Diakui Desira, pemerintah daerah kurang komunikasi dengan masyarakat adat dalam penetapan Meratus sebagai geopark nasional meski BP Geopark Meratus telah melakukan pendekatan dan melakukan pelatihan kepada Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).

"Sekarang, karena kita mengejar UNESCO (status geopark global), komunikasi dengan masyarakat adat akan dilanjutkan," katanya.


Menjual Impresi

Sementara itu, Jatmika Setiawan menegaskan konsep geopark akan menyelamatkan geodiversity, biodiversitas, dan budaya masyarakat yang tinggal di kawasan Meratus.

Motto geopark adalah melestarikan bumi dan mensejahterakan masyarakat, ujarnya.

“Dengan menjadikan geopark sebagai kawasan wisata, kami akan menjual impresinya, bukan menjual asetnya,” ujarnya.

“Tanpa merusak Meratus, kita bisa jual semuanya, keindahan alam, karya budaya,” kata Jatmika.

Dia mengatakan, meski sudah ditambang, ada bagian yang harus dibiarkan untuk pendidikan. Selain itu, lokasi bekas tambang akan menjadi aset wisata geologi ketika operasi penambangan dihentikan.

Dia mencontohkan Tebing Breksi di Yogyakarta yang dulunya merupakan tambang batu.

Pada tahun 2014, operasi penambangan dihentikan atas perintah dari pemerintah daerah. Batuan breksi di kawasan tersebut diketahui merupakan hasil aktivitas vulkanik Gunung Api Purba Nglanggeran.

Kemudian menjadi kawasan lindung dan dioperasikan sebagai objek wisata yang menghasilkan pendapatan Rp2 hingga Rp10 miliar per tahun untuk kawasan tersebut.

“Pemda tidak punya kewenangan soal izin tambang, tapi ada aspek bargainingnya, kalau izin sudah keluar, bisa diatur, sehingga lokasi bekas tambang bisa menjadi geosite untuk wisata geologi,” ujar Setiawan.

Dengan menjadi UNESCO Global Geopark, Meratus bahkan lebih aman, karena tidak hanya dilindungi oleh sertifikat nasional tetapi dunia juga akan berperan dalam menyelamatkan Meratus.

Comments